Senin, 30 Mei 2011

Perundingan Linggarjati


Pada tanggal 17 Mei 1946 “Katholieke Volkspartij” (KVP-Partai Rakyat Katolik) memenangkan pemilihan umum di Negeri Belanda, kemudian pada bulan Juli 1946 bersama dengan “Partij van de Arbeid” (Partai Buruh) berkoalisi membentuk pemerintahan. Dr. Beel ditunjuk sebagai Perdana Menteri.

Sebelumnya, setelah pendaratan sekutu di Indonesia pada bulan September 1945, van Mook ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru menggantikan van Starkenborgh Stachouwer yang mengundurkan diri akibat berbeda pendapat dengan Logemann, Menteri Daerah Seberang Lautan, yang mengakui nasionalisme di Indonesia.

Kabinet Beel kemudian membentuk “Komisi Jenderal” pada tanggal 2 September 1946 dengan tujuan “sementara dikuasakan menjalankan wewenang-wewenang pemerintah agung untuk memajukan persiapan-persiapan suatu tertib hukum baru bagi Hindia Belanda”. Van Mook kemudian menulis surat kepada Menteri Daerah Seberang Lautan yang baru, Mr.J.A. Jonkman, pada tanggal 7 September 1946 bahwa ini adalah kesempatan yang ketiga, setelah akhir tahun 1945 dan April 1946, untuk mengadakan perundingan dengan pihak republik setelah dua perundingan sebelumnya menghasilkan kegagalan. Bahkan ia mengatakan, “Saya yakin bahwa ini adalah kesempatan terakhir” (Renville, hal. 33)

Komisi Jenderal yang terdiri dari Schermerhorn (bekas Perdana Menteri, ketua), van Poll (anggota KVP, anggota) dan de Boer (ahli ekonomi, anggota) tiba di Jakarta pada tanggal 18 September 1946. Van Mook kemudian dimasukan ke dalam komisi ini secara “ex officio”. Begitu tiba di Jakarta, mereka mencari hubungan dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir untuk bertukar pikiran mengenai prosedur-prosedur dalam pembicaraan-pembicaraan yang akan diadakan.

Dalam tahap pertama akan dibicarakan tentang penghentian permusuhan dan kemudian meningkat kepada perundingan-perundingan tentang susunan ketatanegaraan baru di Indonesia dan perubahan Kerajaan sesuai dengan tuntutan zaman.

Disepakati pula bahwa perundingan-perundingan akan diadakan di bawah pengawasan seorang penengah, yang akan diperbantukan oleh Pemerintah Inggris, yaitu Lord Killearn. Sementara itu delegasi republik akan diwakili oleh Sutan Sjahrir (Perdana Menteri), A.K. Gani (Menteri Perekonomian), Amir Sjarifoeddin (Menteri Pertahanan), Soesanto Tirtoprodjo (Menteri Dalam Negeri) dan Moehammad Roem. Sedangkan Ali Boediardjo berfungsi sebagai sekretaris.

Pembicaraan tentang gencatan senjata berlangsung tanpa kesulitan. Setelah Panglima Tentara Republik Indonesia, Jenderal Soedirman, memberikan persetujuannya kepada gencatan senjata, maka pada tanggal 7 November 1946 diperintahkan penghentian tembak menembak. Suatu garis demarkasi selebar dua kilometer dari kedua belah sisi medan pertempuran diterima.

Karena tidak memungkinkan perundingan dilakukan di Jakarta maupun di Yogyakarta (ibukota sementara RI), maka diambil jalan tengah jika perjanjian diadakan di Linggarjati, dekat Cirebon. Hari Minggu pada tanggal 10 November 1946 Lord Killearn tiba di Cirebon. Ia berangkat dari Jakarta menumpang kapal fregat Inggris H.M.S. Veryan Bay. Ia tidak berkeberatan menginap di Hotel Linggarjati yang sekaligus menjadi tempat perundingan.

Delegasi Belanda berangkat dari Jakarta dengan menumpang kapal terbang “Catalina” yang mendarat dan berlabuh di luar Cirebon. Dari “Catalina” mereka pindah ke kapal perang “Banckert” yang kemudian menjadi hotel terapung selama perjanjian berlangsung. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir menginap di desa Linggasama, sebuah desa dekat Linggarjati. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta sendiri menginap di kediaman Bupati Kuningan.

Setelah kedua delegasi mengadakan perundingan pada tanggal 11-12 November 1946 yang ditengahi oleh Lord Kilearn, maka dihasilkan beberapa asas dan pokok persetujuan, diantaranya :

(1) Pemerintah Belanda mengakui Pemerintah Republik Indonesia sebagai “de facto” menjalankan kekuasaan atas Jawa, Madura dan Sumatera.

(2) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia bekerja sama supaya terbentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang berdaulat dan merdeka atas dasar demokratis dan federal.

(3) Wilayah Negara Indonesia Serikat (NIS) meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda.

(4) Bagian Negara Indonesia Serikat (NIS) adalah : Daerah Republik, Kalimantan dan Negara Indonesia Timur.

(5) UUD Negara Indonesia Serikat akan ditetapkan oleh suatu sidang konstituante yang akan dibentuk dan terdiri dari utusan-utusan republik dan daerah-daerah lain NIS yang ditunjuk secara demokratis.

(6) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik akan bekerja sama untuk kepentingan bersama Negeri Belanda dan Indonesia supaya terbentuk suatu Uni Indonesia-Belanda.

(7) Uni Indonesia-Belanda dikepalai oleh Raja/Ratu Belanda. Keputusan-keputusan untuk membela kepentingan bersama akan diambil oleh badan-badan uni atas nama Raja.

Persetujuan Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan Sjahrir di rumah kediaman Sjahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946. KNIP sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang, karena sebagian besar anggota KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut. Ditambah atas campur tangan Soekarno-Hatta yang akan meletakan jabatan jika persetujuan Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya Persetujuan Linggarjati ditandatangani dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947.

Secara umum di kalangan Republik, baik politisi maupun pejuang kemerdekaan, persetujuan Linggarjati ditolak karena dianggap menguntungkan pihak Belanda. Penolakan diantaranya datang dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Rakyat dan laskar-laskar rakyat. Bahkan di suatu majalah laskar rakyat bernama "Godam Jelata" ada sebuah puisi dengan kalimat tertulis "Anti Linggarjati sampai mati". Persetujuan Linggarjati hanya didukung secara nyata oleh partainya Sjahrir, Partai Sosialis, dan oleh Soekarno-Hatta.

Dalam pelaksanaan persetujuan Linggarjati, di bulan Mei 1947, Komisi Jenderal mengultimatum Pemerintah Indonesia untuk mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia secara "de jure" sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan sebelum itu Indonesia di bawah suatu pemerintahan sementara (interim) dimana Raja/Ratu Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintahan sementara ini secara prinsip diterima oleh Sjahrir pada tanggal 8 Juni 1947 dan disetujui dalam rapat kabinet tanggal 20 Juni 1947.

Rupanya hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri. Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947. Sjahrir mengembalikan mandat Perdana Menteri kepada Presiden Soekarno keesokan harinya.

Dan di kemudian hari Pemerintah Belanda mengingkari Persetujuan Linggarjati ini dengan mengadakan aksi militer pada tanggal 20 Juli 1947. Van Mook yang didukung oleh Jenderal Spoor mengirim telegram kepada Menteri Urusan Daerah Seberang, Jonkman, meminta agar diperkenankan untuk melanjutkan aksi militer hingga Yogyakarta dan menduduki ibukota Republik itu dengan segala konsekuensinya. Schermerhorn sendiri sebagai ketua Komisi Jenderal menolak aksi militer ini.

Tanggal 13 Oktober 1947, Komisi Jenderal dibubarkan.

Pustaka :

(1) Memoar Seorang Sosialis. Djoeir Moehamad. Yayasan Obor Indonesia. 1997.
(2) Renville. Ide Anak Agung Gde Agung. Pustaka Sinar Harapan. 1991.
(3) Sejarah Indonesia Modern. M.C.Ricklefs. Serambi. 2008.
(4) Sejarah Kecil Indonesia. Rosihan Anwar. Kompas. 2004.
(5)http://www.mediabersama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2199:obrolan-sore-tentang-sjahrir&catid=933&Itemid=194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar