Senin, 30 Mei 2011

Perundingan Linggarjati


Pada tanggal 17 Mei 1946 “Katholieke Volkspartij” (KVP-Partai Rakyat Katolik) memenangkan pemilihan umum di Negeri Belanda, kemudian pada bulan Juli 1946 bersama dengan “Partij van de Arbeid” (Partai Buruh) berkoalisi membentuk pemerintahan. Dr. Beel ditunjuk sebagai Perdana Menteri.

Sebelumnya, setelah pendaratan sekutu di Indonesia pada bulan September 1945, van Mook ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru menggantikan van Starkenborgh Stachouwer yang mengundurkan diri akibat berbeda pendapat dengan Logemann, Menteri Daerah Seberang Lautan, yang mengakui nasionalisme di Indonesia.

Kabinet Beel kemudian membentuk “Komisi Jenderal” pada tanggal 2 September 1946 dengan tujuan “sementara dikuasakan menjalankan wewenang-wewenang pemerintah agung untuk memajukan persiapan-persiapan suatu tertib hukum baru bagi Hindia Belanda”. Van Mook kemudian menulis surat kepada Menteri Daerah Seberang Lautan yang baru, Mr.J.A. Jonkman, pada tanggal 7 September 1946 bahwa ini adalah kesempatan yang ketiga, setelah akhir tahun 1945 dan April 1946, untuk mengadakan perundingan dengan pihak republik setelah dua perundingan sebelumnya menghasilkan kegagalan. Bahkan ia mengatakan, “Saya yakin bahwa ini adalah kesempatan terakhir” (Renville, hal. 33)

Komisi Jenderal yang terdiri dari Schermerhorn (bekas Perdana Menteri, ketua), van Poll (anggota KVP, anggota) dan de Boer (ahli ekonomi, anggota) tiba di Jakarta pada tanggal 18 September 1946. Van Mook kemudian dimasukan ke dalam komisi ini secara “ex officio”. Begitu tiba di Jakarta, mereka mencari hubungan dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir untuk bertukar pikiran mengenai prosedur-prosedur dalam pembicaraan-pembicaraan yang akan diadakan.

Dalam tahap pertama akan dibicarakan tentang penghentian permusuhan dan kemudian meningkat kepada perundingan-perundingan tentang susunan ketatanegaraan baru di Indonesia dan perubahan Kerajaan sesuai dengan tuntutan zaman.

Disepakati pula bahwa perundingan-perundingan akan diadakan di bawah pengawasan seorang penengah, yang akan diperbantukan oleh Pemerintah Inggris, yaitu Lord Killearn. Sementara itu delegasi republik akan diwakili oleh Sutan Sjahrir (Perdana Menteri), A.K. Gani (Menteri Perekonomian), Amir Sjarifoeddin (Menteri Pertahanan), Soesanto Tirtoprodjo (Menteri Dalam Negeri) dan Moehammad Roem. Sedangkan Ali Boediardjo berfungsi sebagai sekretaris.

Pembicaraan tentang gencatan senjata berlangsung tanpa kesulitan. Setelah Panglima Tentara Republik Indonesia, Jenderal Soedirman, memberikan persetujuannya kepada gencatan senjata, maka pada tanggal 7 November 1946 diperintahkan penghentian tembak menembak. Suatu garis demarkasi selebar dua kilometer dari kedua belah sisi medan pertempuran diterima.

Karena tidak memungkinkan perundingan dilakukan di Jakarta maupun di Yogyakarta (ibukota sementara RI), maka diambil jalan tengah jika perjanjian diadakan di Linggarjati, dekat Cirebon. Hari Minggu pada tanggal 10 November 1946 Lord Killearn tiba di Cirebon. Ia berangkat dari Jakarta menumpang kapal fregat Inggris H.M.S. Veryan Bay. Ia tidak berkeberatan menginap di Hotel Linggarjati yang sekaligus menjadi tempat perundingan.

Delegasi Belanda berangkat dari Jakarta dengan menumpang kapal terbang “Catalina” yang mendarat dan berlabuh di luar Cirebon. Dari “Catalina” mereka pindah ke kapal perang “Banckert” yang kemudian menjadi hotel terapung selama perjanjian berlangsung. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir menginap di desa Linggasama, sebuah desa dekat Linggarjati. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta sendiri menginap di kediaman Bupati Kuningan.

Setelah kedua delegasi mengadakan perundingan pada tanggal 11-12 November 1946 yang ditengahi oleh Lord Kilearn, maka dihasilkan beberapa asas dan pokok persetujuan, diantaranya :

(1) Pemerintah Belanda mengakui Pemerintah Republik Indonesia sebagai “de facto” menjalankan kekuasaan atas Jawa, Madura dan Sumatera.

(2) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia bekerja sama supaya terbentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang berdaulat dan merdeka atas dasar demokratis dan federal.

(3) Wilayah Negara Indonesia Serikat (NIS) meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda.

(4) Bagian Negara Indonesia Serikat (NIS) adalah : Daerah Republik, Kalimantan dan Negara Indonesia Timur.

(5) UUD Negara Indonesia Serikat akan ditetapkan oleh suatu sidang konstituante yang akan dibentuk dan terdiri dari utusan-utusan republik dan daerah-daerah lain NIS yang ditunjuk secara demokratis.

(6) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik akan bekerja sama untuk kepentingan bersama Negeri Belanda dan Indonesia supaya terbentuk suatu Uni Indonesia-Belanda.

(7) Uni Indonesia-Belanda dikepalai oleh Raja/Ratu Belanda. Keputusan-keputusan untuk membela kepentingan bersama akan diambil oleh badan-badan uni atas nama Raja.

Persetujuan Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan Sjahrir di rumah kediaman Sjahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946. KNIP sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang, karena sebagian besar anggota KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut. Ditambah atas campur tangan Soekarno-Hatta yang akan meletakan jabatan jika persetujuan Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya Persetujuan Linggarjati ditandatangani dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947.

Secara umum di kalangan Republik, baik politisi maupun pejuang kemerdekaan, persetujuan Linggarjati ditolak karena dianggap menguntungkan pihak Belanda. Penolakan diantaranya datang dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Rakyat dan laskar-laskar rakyat. Bahkan di suatu majalah laskar rakyat bernama "Godam Jelata" ada sebuah puisi dengan kalimat tertulis "Anti Linggarjati sampai mati". Persetujuan Linggarjati hanya didukung secara nyata oleh partainya Sjahrir, Partai Sosialis, dan oleh Soekarno-Hatta.

Dalam pelaksanaan persetujuan Linggarjati, di bulan Mei 1947, Komisi Jenderal mengultimatum Pemerintah Indonesia untuk mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia secara "de jure" sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan sebelum itu Indonesia di bawah suatu pemerintahan sementara (interim) dimana Raja/Ratu Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintahan sementara ini secara prinsip diterima oleh Sjahrir pada tanggal 8 Juni 1947 dan disetujui dalam rapat kabinet tanggal 20 Juni 1947.

Rupanya hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri. Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947. Sjahrir mengembalikan mandat Perdana Menteri kepada Presiden Soekarno keesokan harinya.

Dan di kemudian hari Pemerintah Belanda mengingkari Persetujuan Linggarjati ini dengan mengadakan aksi militer pada tanggal 20 Juli 1947. Van Mook yang didukung oleh Jenderal Spoor mengirim telegram kepada Menteri Urusan Daerah Seberang, Jonkman, meminta agar diperkenankan untuk melanjutkan aksi militer hingga Yogyakarta dan menduduki ibukota Republik itu dengan segala konsekuensinya. Schermerhorn sendiri sebagai ketua Komisi Jenderal menolak aksi militer ini.

Tanggal 13 Oktober 1947, Komisi Jenderal dibubarkan.

Pustaka :

(1) Memoar Seorang Sosialis. Djoeir Moehamad. Yayasan Obor Indonesia. 1997.
(2) Renville. Ide Anak Agung Gde Agung. Pustaka Sinar Harapan. 1991.
(3) Sejarah Indonesia Modern. M.C.Ricklefs. Serambi. 2008.
(4) Sejarah Kecil Indonesia. Rosihan Anwar. Kompas. 2004.
(5)http://www.mediabersama.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2199:obrolan-sore-tentang-sjahrir&catid=933&Itemid=194

Jenderal Soedirman

“Lebih baik di-(bom)-atom dari pada tidak merdeka 100% !”

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Soedirman lahir di Bodaskarangjadi di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah sekitar tahun 1915. Dilahirkan dari keluarga sederhana dan diangkat anak oleh residen setempat yang bernama Raden Tjokrosunarjo, yang memberikan biaya pendidikannya. Pada tahun 1932 ia memasuki sekolah Taman Siswa Wiworo Tomo dan disana ia belajar bahasa Inggris, hukum dan agama. Kemudian ia pindah ke Sekolah Guru Muhammadiyah namun tidak sempat diselesaikannya karena ayah angkatnya wafat.

Setelah itu Soedirman pindah ke Cilacap dan menjadi guru di HIS setempat. Disana dia juga menjadi anggota Muhammadiyah dan memimpin organisasi kepanduannya, Hizbul Wathan.

Bulan Oktober 1943, Angkatan Darat ke 16 Jepang membentuk tentara “Pembela Tanah Air” atau PETA yang dimaksudkan sebagai tentara pertahanan dan pasukan gerilya bantuan ketika sekutu melakukan penyerangan ke wilayah yang dikuasai Jepang terutama di Pulau Jawa. Mengingat kebutuhannya, maka PETA hanya dibentuk hingga level batalyon (daidan) yang mana setiap batalyon terdiri dari 500-600 pasukan.

Orang-orang yang dipilih untuk dilatih menjadi komandan batalyon (daidancho) sebagian besar bukanlah yang berusia sekolah, melainkan orang-orang yang berumur lebih tua yang menurut pandangan tentara Jepang mempunyai pengaruh dan wibawa terhadap pemuda. Mereka yang sering dipilih adalah guru-guru setempat, pegawai pemerintah dan tokoh agama. Fungsi pokok “daidancho” adalah menjalankan kepemimpinan moral dan pengawasan politik terhadap para bawahan mereka. Dan Soedirman pun ditunjuk oleh Jepang sebagai komandan batalyon untuk daerah Kroya.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 5 Oktober 1945, Soekarno membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan keesokan harinya menunjuk Suprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Kemudian Soekarno mengangkat Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Staf Umum TKR pada tanggal 14 Oktober 1945. Selanjutnya Oerip melakukan restrukturisasi TKR dengan membentuk 10 Divisi TKR di Pulau Jawa. Soedirman menerima tugasnya sebagai Komandan Divisi V yang meliputi daerah Kedu dan Banyumas pada umur 30 tahun.

Friksi yang terjadi di tubuh TKR terutama di kalangan perwira, yaitu antara perwira lulusan PETA dengan perwira alumni KNIL membuat Letjend Oerip memanggil hampir seluruh perwira tinggi ke dalam suatu rapat yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945 untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam tubuh TKR.

Oerip membuka rapat, ia bicara mengenai ketidaktegasan pemerintah, pertempuran berat sekitar Surabaya dan perlunya mencapai strategi dan taktik bersama. Namun Bahasa Indonesia Oerip tidak bagus dan dia banyak menggunakan kata bahasa Jawa dan Belanda. Kemudian bekas perwira PETA, Holland Iskandar, menginterupsi Oerip dan berkata, "Yang kita butuhkan adalah seorang pemimpin, seorang Panglima Besar".

Pada saat itu Oerip jadi bingung, bersikap kaku dan kehilangan pimpinan rapat. Para bekas Perwira PETA yang merupakan mayoritas dalam rapat mendukung Iskandar. Akhirnya setelah dilakukan pemilihan dengan cara mengacungkan tangan (door vingeropsteken), maka terpilihlah Soedirman, panglima Divisi V (Kedu, Banyumas) sebagai Panglima Besar. Oerip tetap sebagai Kepala Staf Umum dan Sultan Yogya terpilih sebagai Menteri Pertahanan.

Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945. Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945.

Setelah kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.

Pada awal tahun 1946 ketika pihak oposisi pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Persatuan Perjuangan (PP), semakin menampakkan kekuatannya di bidang politik, mereka berhasil meraih simpati dari Panglima Soedirman. Ia bersimpati dengan PP karena sifat perjuangannya yang tanpa kompromi terhadap pasukan sekutu, sembari itu dia mengatakan “Asalkan ada persatuan, seperti dalam Persatuan Perjuangan (PP), perjuangan itu akan menang; tentara akan hidup dan mati bersama rakyat” (Antara, 19 Februari 1946).

Tanggal 25 Februari 1946 dalam suatu kongres umum Laskar Rakyat yang dihadiri oleh Tan Malaka dan sekretariat PP, sekali lagi Panglima Soedirman mengatakan, “Mari, marilah, seluruh barisan, badan-badan berjuang sungguh-sungguh dan jangan membiarkan rakyat menjadi korban …”. Pada saat itu juga keluarlah kata-kata Panglima Soedirman yang sangat terkenal hingga saat ini, “Lebih baik di-bom atom daripada tidak merdeka 100% !”

Namun demikian keterlibatan Soedirman dalam PP, tidak digubris oleh Soekarno, karena Soekarno mengetahui bahwa Jenderal Soedirman merupakan “bobot-imbang” bagi kekuatan-kekuatan politik yang ada pada waktu itu. Dan sebaliknya, kekuatan politik pun tidak memiliki intervensi yang kuat terhadap pahlawan perang Ambarawa tersebut (Ulf Sundhaussen, 1986).

Pada tanggal 26 Juni 1946, Soekarno mengangkat Soedirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang. Promosi ini menempatkan angkatan udara dan angkatan laut di bawah komando taktis Soedirman. Kedudukan Soedirman diperkuat lagi ketika Presiden pada tanggal 5 Mei 1947 mendekritkan peleburan TRI dan organisasi kelasykaran menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Soedirman sebagai Panglima Besarnya.

Tugas berat berikutnya yang dihadapi oleh PB Soedirman adalah agresi militer Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Menghadapi kurang lebih 125.000 pasukan Belanda yang menyerang wilayah Republik tak membuat gentar jiwa PB Soedirman. Ia memerintahkan seluruh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk bertempur khususnya di kantong-kantong gerilya. Meski kalah dalam persenjataan, semangat juang TNI dan laskar-laskar rakyat tidaklah padam, walau dengan menggunakan taktik gerilya dan taktik perang semesta semangat “merdeka atau mati” tertanam erat seluruh lapisan tentara maupun masyarakat.

Demikian pula ketika menghadapi agresi militer Belanda yang kedua, 18 Desember 1948. Meski masih dalam kondisi sedang menderita sakit parah, semangat juang Soedirman merupakan teladan yang sangat terpuji. Sebagai seorang Panglima Besar merangkap Kepala Staf Angkatan Perang, Soedirman merasa memikul tanggung jawab paling besar jika terjadi konflik dengan Belanda. Ia tidak pernah lupa akan janjinya dulu ketika dilantik sebagai Panglima Besar,

“… sanggup mempertahankan kemerdekaan berikut kedaulatan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 sampai tetes darah penghabisan”

Pada hari Minggu-nya, 19 Desember 1948, Soedirman mengeluarkan Instruksi Siasat No.1 yang berisi,

“TNI tidak akan melakukan pertahanan linier. Perlambat serbuan musuh dengan melakukan pengungsian secara total, dilengkapi aksi bumi hangus terhadap semua obyek strategis. Ditambah perintah untuk membentuk kantong perlawanan gerilya (wehrkreise) secara totaliter berikut perintah terakhir, melakukan aksi wingate (menyusup kembali ke daerah asal) agar menjadikan seluruh Pulau Jawa sebagai medan pertempuran …”

Segera setelah itu beliau menuju ke Istana Kepresidenan di untuk mendiskusikan aksi agresi militer Belanda tersebut dengan Bung Karno. Diputuskan bahwa Bung Karno tetap di Jogja dengan menerima apapun konsekuensinya sedangkan PB Soedirman meneruskan perjuangan secara gerilya. Sebelum mundur ke daerah gerilya Soekarno berpesan kepadanya, “Dirman, inilah pesanku kepadamu. Sebagai seorang prajurit, sebagai seorang Jenderal, sebagai seorang Panglima TNI, jangan menyerah. Besarkan jiwamu, tebalkan semangatmu dan hidupkan kesetiaanmu kepada Negara, Tanah Air dan Bangsa Indonesia”

PB Soedirman pun mengatakan pesan pribadinya kepada Bung Karno, “ … saya akan peringatkan Belanda, kalau mereka menyakiti Soekarno, maka bagi mereka tidak akan pernah ada kata ampun …”

Meski tak pernah menyetujui garis politik diplomasi yang dilakukan oleh Bung Karno dan pejuang politik lainnya akibat agresi militer Belanda kedua, PB Soedirman berjiwa besar. Setelah dijemput oleh Letnan Kolonel Soeharto dari basis daerah gerilyanya di desa Gadjahan, kecamatan Pondjong, kabupaten Gunung Kidul, tanggal 10 Juli 1949, PB Soedirman kembali ke Yogyakarta. Ia disambut dengan penuh suka cita dan keharuan oleh masyarakat Yogya,

“Para prajurit yang mengikuti parade di alun-alun untuk menghormati Soedirman, banyak yang meneteskan air mata. Mereka terharu melihat Panglima Besar dengan sosok tubuh kurus kering dibalut mantel, berjalan perlahan-lahan dengan sikap gagah dan sorot mata tajam, memberikan salam militer kepada seluruh anak buahnya …”. Setelah itu Soedirman menemui Bung Karno dan Bung Hatta di istana kepresidenan.

Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI sampai sekarang.

Pustaka :

1. Doorstoot Naar Djokja. Julius Pour. Kompas. Desember 2009.
2. Politik Militer Indonesia. Ulf Sindhaussen. LP3ES. 1986.
3. Revoloesi Pemoeda. Ben Anderson. Sinar Harapan. 1988.
4. Sejarah Kecil Indonesia. Rosihan Anwar. Kompas. 2004.

The Rising of New Era

“Rakyat ibarat singa sirkus, jika perut mereka kenyang mereka akan mau diperintah apa saja, tetapi jika perut mereka lapar, mereka tidak segan-segan memangsa pawangnya sendiri” (Letnan Jenderal Ali Moertopo)

”Walau dia (Ali Moertopo) aneh, tidak sedikit jasanya kepada negara dan bangsa, terutama pada permulaan orde baru” (Jenderal Soemitro)

Menurut Harold Crouch dari Cornell University sebagaimana yang dikutip oleh David Jenkins (2010), menyebutkan bahwa ketika Soeharto meraih kekuasaan pada pertengahan 1960-an ia menyandarkan diri kepada sekelompok kecil penasehat dari Angkatan Darat dimana pada bulan Agustus 1966 ia membentuk staf pribadi (SPRI) yang terdiri dari enam perwira tinggi AD serta dua tim sipil para spesialis bidang ekonomi.

Pada tahun 1968 SPRI beranggotakan 12 orang. Mereka dipandang sebagai ”pemerintah bayangan” yang punya kekuasaan lebih besar dibanding kabinet, utamanya dalam penyusunan kebijakan. Para anggota SPRI bertanggung jawab terhadap soal-soal keuangan, politik, intelejen dalam dan luar negeri, kesejahteraan sosial juga dengan ’masalah umum’ dan ’masalah khusus.

Beberapa nama yang cukup terkenal di barisan SPRI antara lain Alamsjah Ratu Perwiranegara, Ali Moertopo, Sudjono Humardani, Yoga Sugama, Benny Murdani, Sudomo, Ibnu Sutowo termasuk Sutopo Juwono yan juga disebutkan sebagai bagian SPRI. Meski secara organisasi SPRI dibubarkan pada bulan Juni 1968 akibat tuntutan dari masyarakat dan mahasiswa, namun secara informal mereka tetap merupakan orang-orang andalah Suharto di bidang politik, intelijen serta pertahanan-keamanan.

Sementara itu untuk urusan ekonomi dan keuangan Suharto mengandalkan pada lulusan muda Berkeley seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim dan Mohammad Sadli. Tonggak para ’Mafia’ Berkeley sebagai penentu garis kebijakan ekonomi orde baru muda dipancangkan pada minggu kedua bulan Januari 1966, di Fakultas Ekonomi Indonesia ketika dilangsungkan suatu seminar ekonomi mengenai ’Trace Baru Ekonomi Indonesia’ yang kemudian disusul dengan seminar Angkatan Darat II yang diadakan di Bandung untuk membenahi kemelut perekonomian pasca Bung Karno.

Salah satu tokoh utama SPRI yang menjadi tangan kanan Suharto untuk melakukan ’operasi khusus’ yaitu operasi-operasi yang bersifat non-formal namun taktis dan strategis sehingga memuluskan serta menjadikan jalan tol bagi semua rencana-rencana Suharto di awal orde baru adalah Ali Moertopo. Dia adalah mantan bawahan Suharto di Kodam Diponegoro sekitar akhir tahun 1950-an, yang pada waktu itu berpangkat Letnan Kolonel, begitu pula ketika Brigadir Jenderal Suharto memimpin Cadangan Umum Angkatan Darat, Ali menjadi bawahannya kembali dengan jabatan sebagai Asisten Kepala Staf.

Ketika berada di Kodam Diponegoro, Ali Moertopo bersahabat erat dengan seorang mistik Jawa yang bernama Sudjono Humardani yang menjabat sebagai staf bagian keuangan. Saking eratnya persahabatan mereka sampai-sampai Ali Moertopo mengatakan ketika ia mendapatkan bintang dua di pangkatnya, ”Kalau saya dinaikan dua bintang tapi Sudjono Humardani belum, maka saya belum mau pakai bintang dua ini”. Keduanya juga saling mengisi, jika Ali jagoan tempur dan intelejen, maka Sudjono pintar mencari uang. Di kemudian hari Sudjono biasa ikut membantu mencarikan kebutuhan dana bagi opsus. ”Mbah (begitu panggilan Ali kepada Sudjono) perlu uang 300 juta nih”. ”Wis gampang, aku carikan”, begitu jawab Soedjono biasanya.

Konon kabarnya pula, Sudjono ini kelak menjadi penasehat spiritual bagi Suharto bahkan kata-kata ”aliran kepercayaan” dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah berkat usulannya.

Ketergantungan Suharto terhadap Ali nampaknya cukup besar dalam melaksanakan program-program pembangunan ekonomi, ia butuh seorang ’free wheeler’ untuk membuat suhu politik serta pertahanan-keamanan stabil karena pada era sebelumnya pembangunan ekonomi selalu tersendat disebabkan kekisruhan ideologi dan politik. Disamping itu juga sisa-sisa kader, simpatisan nasakom masih bergentayangan mengancam kabinet orde baru muda disamping ancaman yang berasal dari intelektual partai-partai lama seperti PSI ataupun golongan Islam. Maka mutlak adanya rekayasa politik, pertahanan keamanan dan intelejen.

Langkah awal Ali Moertopo menstabilkan kondisi politik adalah dengan cara memperkuat Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), suatu organisasi non partisan bentukan Angkatan Darat di tahun 1964. Pelaksanaan opsus untuk memperkuat Sekber Golkar dilakukan dengan jalan intervensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai-partai yang masih eksis, untuk kemudian ”memanipulasi” konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan.

Target pertama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Opsus yang dijalankan berhasil mengangkat Hadisubeno dan menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan dwifungsi ABRI. Lalu diikuti dengan rekayasa terhadap partai kecil IPKI dan kelompok nasionalis lainnya, sehingga konggres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah. Tindakan yang sama juga menimpa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kongres 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya memperoleh dukungan dari Opsus. Operasi-operasi yang serupa dalam waktu hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia)

Opsus juga menargetkan dari kalangan politik Islam salah satunya rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam kota/modernis dengan basis massa dari Masyumi. Sementara terhadap Islam tradisonal dilakukan penggalangan melalui massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisonal untuk ditarik masuk ke dalam Golkar.

Secara umum tugas opsus adalah menyelesaikan dengan mendobrak dan merekayasa dalam jangka pendek (cepat), guna menciptakan struktur politik yang terbebas dari nasakom dan mendukung kepemimpinan orde baru. Intinya semua partai dan organisasi sosial politik kemasyarakatan direkayasa dengan tujuan untuk membangun poros Pancasila.

Hasil kemenangan Golkar pada pemilu tahun 1971 menandai keberhasilan dan kehebatan opsus-nya Ali Moertopo, sehingga membuat pamornya naik di mata Pak Harto. Ia adalah tokoh yang mendapat tugas langsung dari Pak Harto untuk suatu tugas ’conditioning’, dalam konteks pengamanan Pancasila dari kekuatan ekstrim manapun. Sejarah mencatat opsus memainkan peranan penting dan disegani sekaligus ditakuti dan dibenci lantaran dianggap sebagai suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.

Pada saat itulah munculah ambisi-ambisi terpendam dari Ali Moertopo untuk menjadi kepala intelejen/Bakin yang diduga sebagai batu loncatan memuluskan jalannya untuk menjadi RI-1. Dualisme operasional intelejen (Bakin dan Opsus) yang membuat tugas intelejen negara tumpang tindih menyebabkan Suharto bertambah yakin untuk menempatkan Ali Moertopo di Bakin, juga karena Ali memang ”meminta secara tidak langsung” jabatan tersebut. Awalnya Ali dinominasi sebagai kepala Bakin menggantikan Jenderal Yoga Sugama, namun atas desakan Jenderal Sumitro selaku Pangkopkambtib akhirnya Suharto memilih Sutopo Juwono sebagai kepala Bakin dan Ali Moertopo sebagai deputi. Dimulailah perjalanan Ali Moertopo membangun kekuatan sosial politiknya.

Ada cerita dibalik penggantian Yoga Sugama sebagai kepala Bakin, yaitu pada saat perjalanan Yoga ke Jerman Barat untuk memberikan ’briefing’ kepada seluruh atase militer Indonesia di Eropa ia kehilangan tas yang berisi dokumen-dokumen penting. Presiden Suharto mendapatkan laporan bahwa dokumen tersebut hilang di tempat Yoga menginap dan ”ada wanita masuk ke hotel itu”. Tetapi di dalam buku ”Memori Jenderal Yoga” disebutkan bahwa tas tersebut hilang ketika transit di Singapura. Entah siapa yang menghembuskan laporan ’palsu’ jika Yoga menginap di suatu hotel dan kehilangan tas yang berisi dokumen-dokumen penting tersebut apalagi dikait-kaitkan dengan wanita.

Integrasi opsus dan Bakin yang diharapkan oleh Suharto rupanya tidak terjadi bahkan menimbulkan keretakan di internal Bakin karena Suharto tidak membubarkan opsus secara resmi, sehingga Ali Moertopo semakin memainkan kartu as-nya ketika berada di Bakin apalagi ketika itu dia membawa gerbongnya sendiri seperti Kolonel Sumardan, Kolonel Marsudi, Letkol Pitut Suharto, Letkol Alexiyus Sugiyanto dan Letkol Suhardi Utomo.

Salah satu operasi yang ”tidak disetujui” oleh koleganya di Bakin (seperti Jenderal Nicklany) adalah menarik mantan anggota DI/TII yang sudah dibina oleh Kodam Siliwangi untuk dibina di Bakin termasuk anak dari SM. Kartosuwirjo, Dodo Kartosuwirjo (hal ini juga berlaku untuk daerah lain dimana Pitut merekrut Haji Ismail Pranoto-Hispran di Jawa Timur) termasuk juga memanfaatkan orang-orang eks-Permesta seperti Kolonel Somba, Kolonel Lendi Tumbelaka dan lainnya sambil berkilah, ”Kalau mereka dilepas akan liar, maka lebih baik kita kandangkan”. Ali kelihatannya sangat fanatik dengan teori ”tidak ada kawan ataupun lawan”, siapapun kalau menyokong akan dijadikan kawan.

Pola tunggal yang biasa diterapkan oleh opsus untuk merekrut anggota jaring (anggota tidak tetap) adalah memberikan perlindungan dan insentif materi. Contohnya adalah Bambang Trisulo, seorang Soekarnois. Setelah pemberontakan PKI 1965, ia dikejar-kejar orang mau dibunuh, namun demikian Ali Moertopo datang bak dewa penyelamat untuk memberikan perlindungan. Di kemudian hari, sebagai balas budi, Bambang Trisulo membongkar dan mengumpulkan kekayaan mantan Waperdam I Soebandrio hasil penyelundupan di zaman Bung Karno yang disimpan di Aceh untuk diserahkan kepada Ali Moertopo. Demikian pula pola yang sama dia terapkan untuk merekrut tokoh-tokoh preman Senen-Tanah Abang seperti Roy Simanjuntak.

Selain hendak menguasai Bakin, Ali rupanya juga melakukan ekspansi ke dunia intelektual, dengan menggandeng komunitas intelektual Cina Katholik dia mendirikan suatu lembaga studi yang dikenal sebagai CSIS (Center for Strategic and International Studies). Beberapa nama lulusan Universitas-universitas Eropa ternama menghiasi daftar anggotanya seperti Pang Lay Kim, Soedjati, Harry Tjan Silalahi, Daoed Joesoef dan Hadisoesastro. Tidak segan-segan dia membandingkan kehebatan intelektual CSIS dengan Mafia Berkeley-nya Pak Harto. Namun demikian Mafia Berkeley-nya Pak Harto masih lebih ’kiri’ dibandingkan CSIS-nya Ali Moertopo yang mengusung agenda liberalisasi ekonomi.

Kelebihan CSIS-nya Ali Moertopo dibandingkan Mafia Berkeley-nya Soeharto adalah pada tahun 1972, CSIS menerbitkan buku setebal 125 halaman dengan judul ”Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 tahun”, artinya CSIS meletakan dasar-dasar pembangunan jangka panjang, sementara itu Mafia Berkeley hanya menjalankan politik ekonomi ’rescue’ jangka pendek dan menengah. Maka mulai saat itu mau tidak mau Suharto menerima CSIS sebagai mitra strategis pemerintah, khususnya sebagai konsultan di bidang perekonomian, untuk menutupi kesan ia tidak memiliki agenda ekonomi jangka panjang. (Manuver CSIS ini menyebabkan Jenderal Sumitro menyerukan didirikannya pusat-pusat studi di kampus-kampus negeri di seluruh Indonesia)

Dan akhirnya manuver Ali Moertopo pun masuk ke dunia mahasiwa terutama di Universitas Indonesia (UI), penetrasi opsus melalui beberapa mahasiswa binaannya seperti Aulia Rahman, Freddy Latumahina, Posdam Hutasoit dan Leo Tomasoa (kelompok 10) berhasil menaikan Hariman Siregar menjadi ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI), suatu jabatan yang sangat ’prestige’ di kalangan mahasiswa pada saat itu. Kemenangan Hariman atas Ismet dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dengan perbedaan suara tipis (26 berbanding 24 suara) merubah konstelasi pergerakan politik mahasiswa Universitas Indonesia yang pada tahun-tahun sebelumnya dikuasai oleh HMI.

Pada awalnya Hariman dan teman-temannya seperti Marsilam Simanjuntak dan Yopie Lasut tidak menyadari bahwa ia berada dalam ’permainan’ opsus Ali Moertopo, namun setelah mengetahui bahwa dirinya dibantu oleh opsus menjadi ketua DM-UI pada sekitar tahun 1973, dia berbalik sikap 180 derajat dan menolak menjalankan agenda-agenda opsus yang merupakan agenda Ali Moertopo termasuk pada peristiwa Malari 1974. Bahkan kemudian ia menjadi lawan potensial melalui gerakan-gerakan mahasiswa menyerang Aspri/SPRI dan Ali-Soedjono.

Bersambung ...

Sumber Bacaan :

Memori Jenderal Yoga. B.Wiwoho & Banjar Chaeruddin. PT. Bina Resa Pariwara. Juni 1990.

Soeharto & Barisan Jenderal Orba. David Jenkins. Komunitas Bambu. 2010

Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974. Heru Cahyono. Pustaka Sinar Harapan. Januari 1998.

Catatan Kecil Indonesia 

Soempah Pemoeda

Di tahun 1920, ketika Mohammad Yamin berusia 17 tahun, ia mempromosikan pentingnya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan orang Sumatra. Hal ini merupakan pengakuan terhadap kesusastraan Melayu sebagai warisan budaya masyarakat pada umumnya. Dan di bulan April-Mei 1926 yaitu pada Kongres Pemuda Indonesia I (Eeerste Indonesich Jeugdcongres) di Batavia, Yamin menyampaikan -dalam bahasa Belanda- sebuah pandangan yang membahas bahasa Melayu sebagai dasar pengembangan masa depan suatu bahasa dan kesusastraan yang bernuansa “Indonesia”.

Ketika itu, ia menyampaikan pandangannya bahwa pengembangan itu akan terjadi secara bertahap (langzamerhand). Kemudian dalam rentang waktu dua tahun, ia juga aktif mendorong pergerakan pemuda menuju pemuda Indonesia yang ideal. Ia sendiri ketika itu adalah sebagai pimpinan Jong Sumatranen Bond.

Pada Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 26-28 Oktober 1928 yang dipimpin oleh Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI), Yamin menyusun komposisi dari resolusi yang dihasilkan konggres (Foulcher, 2008) Adapun bunyi dari sebagian deklarasi tersebut adalah,

“Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”

Patut juga dicatat disini, PPPI yang berdiri di tahun 1925 dan beranggotakan siswa dan mahasiswa sekolah-sekolah tinggi di Jakarta dan Bandung, melakukan kegiatan yang bersifat “meneruskan” kepada masyarakat, cita-cita Perhimpoenan Indonesia (PI), suatu organisasi pelajar yang berada di negeri Belanda meskipun mereka tidak memiliki kaitan secara langsung. Artinya, secara tidak langsung PI telah menjadi inspirasi bagi pemuda dan pelajar yang berada di Hindia Belanda.

Kebalikan dari kongres 1926, bahasa utama yang digunakan sebagai pengantar pada Oktober 1928 adalah bahasa Melayu atau Indonesia. Keputusan menggunakan bahasa Melayu-Indonesia ternyata menimbulkan kebingungan diantara peserta konferensi. Van der Plas, pengamat resmi dari pemerintah kolonial memberikan catatannya sebagai berikut,

“De leider van het congres, de student Soegondo, was in het geheel niet voor zijn taak berekend en miste gezag. His trachtte de ‘Indonesiche taal’ te spreken, waarin hij zich allen zeer gebrekkig bleek te kunnen uit drukken

Yang artinya,

“Pemimpin kongres, pelajar Soegondo, tidak dapat memenuhi tugasnya dan kekurangan otoritas. Ia mencoba untuk berbicara ‘bahasa Indonesia’, tetapi tidak mampu membuktikan dirinya mampu melakukan dengan baik”

Van der Plas juga menambahkan bahwa ada penolakan secara diam-diam diantara peserta terhadap penggunaan bahasa Melayu.

Di hari kedua kongres, Ny. Poernomowoelan maju sebagai panelis dengan membawakan artikel dengan tema tentang pendidikan dalam bahasa Belanda. Hal ini mendapatkan tanggapan dari peserta kongres, “Diterdjemahkan2 ! (sic) Dimelajoekan2 !” (Fadjar Asia, 1928). Yamin yang pada waktu itu bertindak sebagai sekretaris kongres maju untuk membawakan versi bahasa Melayu dari pidato tersebut di hadapan peserta yang sebagian besar berlatar pendidikan belanda.

Pemisahan secara simbolis dengan bahasa kolonial yang membedakan nasionalisme Indonesia dari pergerakan nasionalis saat itu mulai berjalan dalam dunia kolonial. Paling tidak salah satu peserta kongres merasa perlu meminta maaf karena menggunakan bahasa Belanda. Ia menyesal bahwa ia sendiri sebagai anak Indonesia tidak bisa berkata dalam bahasa sendiri.

Di era kemerdekaan, tanggal 28 Oktober kemudian diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Namun demikian sebenarnya, peringatan pertama kali, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1949, bukan diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda tetapi oleh Soekarno diperingati sebagai hari lahirnya lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang memang pada Kongres Pemuda II diperdengarkan secara instrumental oleh Wage Rudolf Supratman.

Sekali lagi peran Yamin terlihat disini. Dalam kapasitasnya sebagai menteri, pada tanggal 28 Oktober 1954 ketika memberikan pidato di pembukaan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, ia mengatakan bahwa 28 Oktober 1928 adalah tanggal ketika “Indonesia Raya” dilahirkan, juga saat ketika frase bahasa Indonesia pertama kali digunakan dalam sebuah kongres pemuda yang diselenggarakan di Jakarta. Dari sini dapat dicermati jika Yamin sedang membangun sebuah simbol yang menjadi bagian dari susunan ideologi sebuah bangsa dan Negara.

Akhirnya, Hari Sumpah Pemuda secara resmi dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1955, dalam perayaan kunjungan kepresidenan selama dua hari di Solo. Perayaan ini juga mengikutsertakan sebuah pembacaan publik dari Sumpah Pemuda, “Jang berisikan djanji berbahasa satu, bertanah air satu dan berbangsa satu !” (Merdeka, 1955)

Pustaka :

(1) Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. A.K.Pringgodigdo SH. Dian Rakyat. 1984.
(2) Sumpah Pemuda. Keith Foulcher. Komunitas Bambu. 2008. 

(3) Catatan Kecil Indonesia

Romantika Demokrasi Parlementer 1950-1959

If you can't beat them, join them (American Proverb)
----------------------------------------------------------------

Kesepakatan antara RIS dan RI (sebagai Negara bagian) untuk membentuk Negara kesatuan tercapai pada tanggal 19 Mei 1950. Setelah selama kurang lebih 2 bulan bekerja, Panitia Gabungan RIS-RI yang bertugas merancang UUD Negara Kesatuan menyelesaikan tugasnya pada tanggal 20 Juli 1950. Kemudian setelah diadakan pembahasan di masing-masing DPR, rancangan UUD negara kesatuan diterima, baik oleh Senat dan Parlemen RIS maupun oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Sukarno menandatangani rancangan UUD tersebut yang kemudian dikenal sebagai UUD-Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 dimana secara umum undang-undang ini mengandung unsur-unsur dari UUD 1945 maupun konstitusi RIS. UUDS 1950 ini mulai diberlakukan pada tanggal 17 Agustus 1950.

Menurut UUDS 1950, kabinet, baik secara keseluruhan maupun secara perorangan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mempunyai hak menjatuhkan kabinet secara keseluruhan atau memberhentikan menteri-menterinya secara individual. Artinya secara tidak langsung para politisi telah membentuk suatu sistem parlementer yang ”mengikuti” sistem parlementer Belanda yang mereka kenal dengan baik.

Anggota DPR hasil ”kompromi” yang mencerminkan apa yang dianggap sebagai kekuatan-kekuatan partai politik pada saat itu berjumlah 232 anggota dengan perincian : Masyumi 49 kursi (21%), PNI 36 kursi (16%), Partai Sosialis Indonesia 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), Partai Katholik 9 kursi (3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%) dan Murba 4 kursi (1,7%). Sedangkan lebih dari 42% kursi dibagi diantara partai-partai atau perorangan-perorangan lainnya, yang tak satu pun dari mereka ini mendapatkan lebih dari 17 kursi.

Kabinet pertama (September 1950-Maret 1951) dibentuk oleh Natsir yang berintikan Masyumi-fraksi Natsir dan PSI setelah usaha membentuk koalisi Masyumi-PNI gagal. Kebijakan luar negeri Natsir adalah bebas aktif, dan pada bulan September 1950 Indonesia diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada saat kabinet Natsir berkuasa perekonomian Indonesia mengalami masa yang paling menguntungkan selama demokrasi parlementer. Hal ini disebabkan perang Korea pada awal tahun 1950an yang mengakibatkan naiknya harga komoditi hingga berdampak pada peningkatan pendapatan ekspor dan bea ekspor.

Natsir juga berhasil meredam pemberontakan yang terjadi di Ambon pada bulan November 1950 yang berdampak di awal tahun 1951 belasan ribu serdadu KNIL asal Ambon memilih Belanda sebagai tanah airnya setelah menolak dimobilisasi menjadi tentara nasional. Namun demikian di era Natsir tidak tercapai kemajuan yang signifikan berkaitan dengan pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo begitu pula dengan permasalah Irian Barat menyusul perundingan yang dilakukan bulan Desember 1950.

Kegagalan perundingan serta rendahnya prioritas terhadap permasalahan Irian Barat mengakibatkan Parlemen mengajukan mosi tidak percaya kepada Kabinet Natsir, dan ia mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada tanggal 21 Maret 1951.

Presiden Soekarno kemudian menunjuk Mr. Sartono (PNI) untuk membentuk kabinet baru. Namun Mr. Sartono tidak berhasil membentuk kabinet dan mengembalikan mandatnya kepada Bung Karno pada tanggal 18 April 1951. Akhirnya Bung Karno menunjuk Sidik Djajasukarto (PNI) dan Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi-Jawa) sebagai formatur dimana kemudian mereka berhasil membentuk kabinet dimana Sukiman sebagai Perdana Menteri pada 26 April 1951.

Di dalam kabinet Sukiman yang bercorak Masyumi (Jawa)-PNI, tidak ada satu anggota pun Masyumi-fraksi Natsir dan PSI yang diikutsertakan, termasuk untuk pertama kalinya sejak tahun 1946 Sultan Hamengkubuwono IX tidak disertakan di dalam kabinet. PNI sendiri pun tidak luput dari perpecahan internal antara kelompok Mr. Sartono dan kelompok Mr. Sujono Hadinoto yang ikut mewarnai perpolitikan kabinet Sukiman meski oleh Bung Karno koalisi itu dianggap ideal dan disukai banyak orang.

Nampaknya ”hanya” PKI yang tidak menyukai koalisi antara kaum nasionalis dan agamis dikarenakan keberlangsungan PKI tergantung pertikaian antara keduanya. PKI kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan untuk melemahkan kabinet Sukiman dengan melakukan kegiatan pemogokan masal yang dilakukan oleh organisasi underbow-nya antara bulan Juni-Agustus 1951 dimana beberapa diantara pemogokan berakhir dengan letupan senjata serta lemparan granat, dan akibat kejadian tersebut pemerintah menangkap anggota PKI secara massif.

Karena merasa tidak pasti terhadap PNI sebagai sekutu, maka PKI mulai mengalihkan dukungannya kepada Presiden Sukarno. Ricklefs (2008) menyebutkan bahwa meskipun membawa segala kebencian pribadi mereka terhadap presiden, mulai saat itu para pemimpin PKI tidak lagi menyebut Bung Karno sebagai kolaborator Jepang atau fasis, dan tidak lagi menyalahkannya karena memancing meletusnya peristiwa Madiun; rasionalisasi mereka kini melemparkan semua kesalahan kepada Bung Hatta secara khusus.

Kabinet Sukiman jatuh karena dua hal. Pertama, gagal mengatasi pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan sehingga posisinya semakin kuat dengan dukungan DI/TII Kartosuwiryo. Kedua, mereka menandatangani persetujuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat atas dasar Mutual Security Act (MSA). Persetujuan ini membawa tafsiran bahwa Indonesia telah memasuki blok Barat yang berarti dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.

Tanggal 30 Maret 1952 Mr. Wilopo (PNI) mengajukan susunan kabinetnya, PNI dan Masyumi masing-masing mendapatkan 4 kursi menteri, PSI 2 orang, Partai Katholik (PKRI) 1 orang, Partai Kristen (Parkindo) 1 orang, Parindra 1 orang, Partai Buruh 1 orang dan PSII 1 orang serta golongan tidak berpartai 3 orang. Suara parlemen yang setuju memberikan dukungan kepada Kabinet Wilopo mayoritas, hanya 5 suara yang tidak setuju yaitu 4 dari Murba dan 1 dari Sarekat Kerakyatan Indonesia (SKI). Fraksi Progresif, PRN, PIR, Fraksi Demokrat, beberapa anggota non partai serta 2 orang dari Masyumi abstain. Sultan Hamengkubuwono IX kembali menjadi Menteri Pertahanan.

Meski bercorak PNI-Masyumi, pada masa kabinet Wilopo ini PNI dan PKI mulai menjalin hubungan yang lebih mesra apalagi setelah konflik internal di dalam tubuh PNI semakin tajam. Ditambah lagi isu negara sekuler vs agama mencuat di kalangan politikus Jakarta pada waktu itu. PNI mencurigai motivasi-motivasi politik keagamaan yang dijalankan oleh Masyumi yang kemudian membuat mereka berafiliasi dengan PKI.

Kedekatan tersebut terlihat jelas ketika kabinet Wilopo membebaskan semua tahanan PKI yang ditangkap ketika kabinet Sukiman memerintah di tahun 1951 akibat pemogokan masal, disamping secara kultur mayoritas anggota PNI dan PKI memiliki kesamaan, yaitu masyarakat Jawa abangan. Tentunya koalisi ekstra-parlementer ini membawa konsesi bagi PKI, salah satunya adalah mereka tidak akan mencela dan mengusik lagi PNI, setelah sebelumnya mereka berjanji tidak menganggu Bung Karno.

Kabinet Wilopo sendiri mendapat tantangan terberat berkenaan dengan program demobilisasi tentara atau pengurangan tentara dikarenakan beban anggaran belanja negara yang begitu berat. Ada teori yang menyebutkan pada saat itu tentara terpecah menjadi dua kelompok menjadi antara pihak yang setuju dan yang menolak demobilisasi. Tentara yang setuju dengan demobilisasi dekat dengan PSI sedangkan yang menolak ”berafiliasi” ke PNI, termasuk Sukarno pun menolak ide tersebut.

Ujung dari pertentangan ini adalah peristiwa ”17 Oktober 1952” dimana tentara yang setuju dengan demobilisasi membawa tank-tank dan artileri militer menuju istana Presiden untuk menuntut dibubarkannya DPR. Presiden kemudian menerima delegasi tentara dan secara samar-samar berjanji bahwa kepentingan mereka akan dipenuhi. Berkenaan dengan peristiwa itu sebagian pihak di DPR menganggap peristiwa tersebut sebagai ”ancaman militer terhadap pemerintahan sipil” sehingga memaksa pemerintah untuk membatalkan rencana demobilisasi.

Konflik internal dalam tubuh tentara tersebut mengakibatkan kekuatan pertahanan dan keamanan menjadi lemah sehingga intensitas operasi militer terhadap pemberontak semakin menurun. Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan parlemen terhadap kabinet Wilopo dan puncak ketidakpercayaan parlemen adalah ”Peristiwa Tanjung Morawa” di Sumatera Timur.

Sebagaimana perjanjian KMB pada tahun 1949, pemerintah RI mengizinkan kembali perusahaan asing untuk kembali mengelola tanah-tanah perkebunan yang pernah ditinggalkan akibat perang termasuk diantaranya”Deli Planters Vereeniging” yang berada di Sumatera Timur. Dan ketika tanah-tanah tersebut ditinggalkan oleh perusahaan Belanda, petani-petani lokal menggarap tanah yang mereka anggap kosong dan liar itu.

Kabinet Wilopo memerintahkan agar petani penggarap keluar dari lahan DPI tersebut, namun demikian rupanya PKI telah bergerak aktif di kalangan penghuni liar tersebut (Ricklefs, 2008) dan menghasut mereka agar para petani tetap bertahan disana. Akibatnya pada tanggal 16 Maret 1953 polisi secara paksa membubarkan mereka yang berujung tewasnya 5 orang di kalangan petani. Peristiwa ini menjadi sorotan tajam baik dari media maupun parlemen. Mosi tidak percaya diajukan oleh Sidik Kertapati yang kemudian disusul penyerahan mandat oleh Wilopo kepada Bung Karno pada tanggal 2 Juni 1953.

Sumber Bacaan :

(1) Sejarah Indonesia Modern. M.C.Ricklefs. Serambi. 2008.
(2) Sejarah Nasional Indonesia VI. M.J.Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. PN.Balai Pustaka. 1984 

(3) Catatan Kecil Indonesia

Het Wihelmus di Dadaku (Tim Nasional Hindia Belanda)

“Den vaderland getrouwe, blijf ik tot in den dood (Loyal to the fatherland, I will remain until I die)” – Het Wilhelmus

---------------------------------------

Pada Piala Dunia 1938 di Perancis, FIFA mengundang Hindia Belanda ‘merepresentasikan’ wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara untuk mengikuti kejuaraan tersebut. Pada waktu itu wadah sepakbola Hindia Belanda yang diundang oleh FIFA adalah NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) meski pada saat yang sama terdapat pula PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) yang juga merupakan wadah organisasi sepakbola di wilayah Hindia Belanda.

Sebenarnya atas undangan FIFA, NIVU dan PSSI telah membuat kesepakatan “Gentlemens Agreement” antara Masterbroek (NIVU) dan Ir. Soeratin (PSSI) pada tanggal 5 Januari 1937 untuk mengadakan pertandingan antara tim yang dibentuk NIVU dan tim yang dibentuk oleh PSSI, dimana pemenangnyalah yang akan dikirim ke ajang Piala Dunia, namun kemudian NIVU membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut yang kemudian menyebabkan PSSI pada kongres di Solo tahun 1938 memutuskan melarang seluruh pemain yang berada di naungan PSSI ikut bergabung di tim NIVU jika diminta. Dengan demikian pemain-pemain PSSI berkelas seperti kiper R. Maladi kehilangan kesempatan bermain di Piala Dunia.

NIVU (sebelum tahun 1936 bernama NIVB-Nederlandsche Indische Voetbal Bond) sendiri mempunyai sejarah yang panjang sepakbola di nusantara. Bermula dari pertandingan antar klub yang berada di Batavia, Bandung, Semarang dan Surabaya pada tahun 1914, maka pada tahun 1919 berdirilah NIVB guna mengelola pertandingan sepakbola menjadi lebih teratur dan profesional di Hindia Belanda. Di tahun 1922, tercatat total pemasukan dari penjualan tiket di bawah naungan NIVB sebesar 12.425,- gulden.

Namun sayang kompetisi yang diadakan oleh NIVU cenderung diskriminatif. Mereka membagi kompetisi sepakbola menjadi 3 bagian. Kelas I khusus orang Eropa, kelas II untuk pemain Tionghoa dan pemain pribumi dimasukan ke kelas III. Hal inilah yang kemudian membangkitkan semangat Nasionalisme Soeratin Sosrosoegondo. Sekembalinya dari Jerman setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Teknik di Heckelenburg, Ir. Soeratin mengumpulkan klub sepakbola pribumi (kelas III) untuk mendirikan satu wadah sepakbola yang lebih nasionalis dan kemudian menghasilkan berdirinya PSSI pada tanggal 19 April 1930 di Solo. Dan semenjak itu dimulailah persaingan antara NIVB/NIVU dengan PSSI dimana puncaknya pada event Piala Dunia 1938 di Perancis.

Di babak penyisihan Asia, Tim Nasional Hindia Belanda bergabung di grup 12 bersama Jepang, tetapi karena sedang di bawah bayang-bayang perang dengan Cina, tim Jepang mengundurkan diri. Dengan demikian Timnas Hindia Belanda melenggang menuju Perancis. Pemilihan Perancis sendiri sebagai tuan rumah piala dunia 1938 mengundang protes dari negara-negara Amerika Selatan, karena sebelumnya FIFA berjanji mengadakan piala dunia 1938 di benua Amerika. Akibatnya tim-tim kuat Latin seperti Uruguay dan Argentina memboikot liga akbar tersebut.

Dengan demikian di tengah-tengah tribulasi politik dan perang, ada 15 tim yang mengikuti putaran final Piala Dunia 1938, yaitu : NAZI (Jerman), Italia, Swedia, Norwegia, Brazil, Kuba, Swiss, Polandia, Rumania, Hongaria, Cekoslowakia, Belanda, Belgia dan terakhir tim ’es tjampur’-kuda hitam Hindia Belanda atau Hindia Timur. Karena ada ’dua’ tim Belanda yang ikut, hal ini sempat mengundang kecurigaan kesebelasan lain meski isu itu hilang dengan sendirinya.

Sistem yang digunakan pada Piala Dunia 1938 adalah sistem ’Knock Out’, dimana tim yang kalah langsung gugur dan pulang. Sistem ini juga merupakan sistem terakhir yang digunakan di Piala Dunia. Pada piala dunia berikutnya digunakan sistem setengah turnamen. Dari hasil pengundian, kesebelasan Hindia Belanda bertemu dengan Hongaria yang pada waktu itu merupakan salah satu tim terkuat di benua Eropa.

Ditangani pelatih Johannes van Mastenbroek, pemain kesebelasan Hindia Belanda berasal dari liga kompetisi yang dikelola oleh NIVU dan mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda yang kemudian direkrut ke dalam tim nasional. Berikut susunan pemain inti kesebelasan Tim Nasional Hindia Belanda :

1. Mo Heng Tan (Penjaga Gawang, HCTNH Malang)
2. Achmad Nawir (Kapten, Penyerang, HBS Soerabaja)
3. Hong Djien Tan (Penyerang, TH Soerabaja)
4. Frans Alfred Meeng (Gelandang, SVB Batavia)
5. Isaak Pattiwael (Penyerang, Jong Ambon)
6. Hans Taihuttu (Penyerang, Jong Ambon)
7. Suvarte Soedarmadji (Penyerang, HBS Soerabaja)
8. Anwar Sutan (Gelandang, Vios Batavia)
9. Henk Sommers (Penyerang, Hercules Batavia)
10. Frans G. Hukon (Belakang, Sparta Batavia)
11. Jack Samuels (Belakang, Excelsior Soerabaja)

Tanggal 18 Maret 1938 dengan menggunakan Kapal MS Johan van Oldenbarnevelt dari Tandjoeng Priok, Batavia, kesebelasan tim nasional Hindia Belanda bertolak ke Belanda. Setelah 3 bulan melakukan perjalanan laut akhirnya mereka tiba di Pelabuhan Rotterdam. Harian Sin Po, yang menyebut timnas Hindia Belanda ini dengan ”Indonesia” melaporkan kegiatan kesebelasan tersebut sebagai berikut :

(1) Edisi 26 Mei 1938 : Petinggi NIVU menemui Menteri Urusan Tanah Jajahan.
(2) Edisi 27 Mei 1938 : Timnas bertanding melawan HBS, skor 2-2.
(3) Edisi 28 Mei 1938 : Dilaporkan kiper Mo Heng Tan cedera. Dikabarkan juga Timnas menonton pertanding salah satu klub raksasa Belanda, Feyenoord.
(4) Edisi 2 Juni 1938 : Timnas menang dalam partai uji coba melawan Klub Harleem dengan skor 5-3.

Pada akhirnya tibalah pertandingan antara timnas Hinda Belanda dengan Hongaria yang berlangsung di kota Reims, sekitar 129 km dari Paris tanggal 5 Juni 1938 pukul 17.00 waktu setempat. Stadion yang digunakan adalah Velodrome Municipal. Pertandingan tersebut dihadiri oleh sekitar 9000 penonton dan wartawan dari 27 negara serta diawali lagu kebangsaan kedua negara, tentu saja lagu kebangsaan timnas Hindia Belanda yang diperdengarkan adalah ”Het Wilhelmus”,

Wilhelmus van Nassaouwe (Wilhemus of Nassau)
Ben ik, van Duitsen bloed (am I, of German blood)
Den vaderland getrouwe (Loyal to the fatherland)
Blijf ik tot in den dood (I will remain until I die)
Een Prinse van Oranje (A Prince of Orange)
Ben ik, vrij, onverveerd (am I, free and fearless)
Den Koning van Hispanje (The King of Spain)
Heb ik altijd geerd (I have always honoured)


Pelatih Johannes van Mastenbroek menerapkan formasi yang cukup ’aneh’ jika diterapkan pada sepakbola modern terhadap timnas Hindia Belanda, yaitu 2-2-6, dimana pemain belakang terdiri dari 2 orang, pemain tengah 2 orang dan menumpuk penyerang hingga 6 orang. Meski memborbardir gawang Hongaria dengan begitu banyak ’striker’ & ’attacking midfielder’, timnas Hinda Belanda gagal memasukan sebuah gol pun dan sebaliknya jala Mo Heng Tan kebobolan 6 kali pada menit ke 13, 15, 28 dan 35 di babak pertama serta tambahan dua gol di babak kedua.

Gol-gol Hongaria dilesakan oleh Vilmos, Toldi, Sarosi dan Zsengeller. Bahkan kemudian Sarosi dan Zsengeller menjadi 3 besar ’top scorer’ di Piala Dunia 1938. Namun demikian sebenarnya bukan hanya Hindia-Belanda yang dibantai oleh Hongaria, tim Swedia pun dilumat 5-0 di semifinal, meski akhirnya mesin diesel Hongaria menyerah 2-4 dari Italia di babak final. Hal ini memang menunjukan bahwa timnas Hindia Belanda tidak terlalu kalah kelas dengan tim-tim Eropa.

Walaupun kalah di pertandingan pertama putaran final Piala Dunia 1938, beberapa media memberikan pujian pada timnas Hindia Belanda. Surat Kabar Perancis ”Le Figaro”, memuji semangat juang kesebelasan Hindia Belanda, ”The Sunday Times” memuji ’fair play’ mereka dan pada edisi 7 Juni 1938, Harian Sin Po menampilkan headline nan heroik, ”Indonesia-Hongarije 0-6, Kalah Saoedahnja Kasi Perlawanan Gagah”.

Dirangkum dari berbagai sumber.


Pustaka :
(1) Catatan Kecil Indonesia

Operatie Kraai (Operasi Burung Gagak)

“Nein …”






Peta Wilayah Indonesia (Merah) seusai Operasi Burung Gagak


-----------------------------------------------

Keinginan pihak Belanda untuk tetap memaksa mendirikan negara federal di bawah takhta Ratu Belanda (atau yang dikenal dengan Uni Indonesia-Belanda) setelah Perjanjian Renville dengan cara menekan Pemerintah Republik Indonesia di Jogja melalui jalur politik menemui banyak kesulitan terutama karena semangat kemerdekaan yang begitu besar di jiwa politisi maupun tentara Republik Indonesia.

Pada tanggal 26 November 1948, kabinet Belanda mengirimkan delegasi yang terdiri dari tiga orang : Menteri Seberang Lautan Mr. E.J.M.A. Sassen, Menteri Luar Negeri Mr. D.U. Stikker dan utusan tertinggi pemerintah, L. Neher untuk melakukan pembicaraan politik dengan Pemerintah Republik Indonesia maupun dengan kaum nasionalis-federal bagi tercapainya suatu pemecahan yang lestari.

Pertemuan dengan pihak Republik berlasung di Kaliurang-Jogjakarta dengan turut pula mengundang para Perdana Menteri Negara Indonesia Timur dan Pasundan serta Sultan Pontianak. Delegasi Republik Indonesia sendiri dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Hatta dan Sassen mengadakan pembicaraan terakhir pada tanggal 30 November 1948. Selama pembicaraan ini dipastikan bahwa kedua belah pihak tidak dapat mencapai kata sepakat tentang beberapa pasal. Pemerintah Republik Indonesia bertahan pada pendirian bahawa TNI secara keseluruhan harus ditampung ke dalam angkatan perang federal. Sementara Pemerintah Belanda bersitegang supaya TNI dibubarkan dan penampungan secara orang per orang setelah disaring dan disekolahkan kembali.

Pada hari Minggu tanggal 5 Desember 1948, Sassen dan Stikker kembali ke Belanda, ketua delegasi digantikan oleh Mr. Elink Schuurman yang pada tanggal 11 Desember 1948 mengeluarkan pernyataan bahwa perundingan dengan pihak Republik telah gagal dan dua hari kemudian, yaitu pada hari Senin tanggal 13 Desember 1948, kabinet Belanda memberikan perintah untuk mengadakan agresi militer beberapa hari kemudian.

Catatan Anak Agung menyebutkan, “Pemerintah Kerajaan sudah merasa tidak lagi memiliki peluang. Sehingga mereka kemudian mengirimkan kata sandi, ‘Nein’. Artinya, Dr. Louis Beel (Wakil Agung Mahkota/Gubernur Jenderal, menggantikan van Mook yang mengundurkan diri pada tanggal 1 November 1948) diizinkan untuk melancarkan operasi militer pada pukul 00.00, hari Minggu dini hari tanggal 19 Desember 1948”

Pemberitahuan rencana serangan pihak Belanda kepada pihak Republik baru dilakukan pada sabtu malam 18 Desember 1948 jam 21.00 waktu Batavia melalui surat kepada Mr. Soedjono, Sekretaris Jenderal Delegasi Republik. Cuplikan surat itu berisi, “ … the said agreement should be terminated and is considered as no longer binding as from Sunday, 19 December, 1948, 00.00 hours, Batavia time”. Setelah menyimpulkan bahwa Belanda akan melakukan agresi, Soedjono berusaha menghubungi Perdana Menteri Hatta yang berada di Jogja, namun tidak berhasil dilakukan karena hubungan komunikasi antara Batavia-Jogja telah diputus oleh pihak intelejen militer Belanda.

Demikian pula usahanya untuk menggunakan pesawat udara menuju Jogja gagal diperoleh karena bandara Kemayoran telah ditutup untuk penerbangan domestik. Sehingga jelas sudah bahwa keadaan Jogja sama sekali buta terhadap agresi militer Belanda, dan pihak Republik tidak terlalu siap secara militer menghadapi serangan tersebut.

Target pertama ‘Operatie Kraai’ yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Simon Spoor adalah lapangan terbang Maguwo. Ia mengandalkan KST (Korps Speciale Troepen) yang bermarkas di Batujajar. Pasukan tersebut merupakan bagian dari Grup Tempur M, yakni dua kompi pasukan payung baret merah KST yang didukung oleh komando baret hijau di bawah pimpinan Letnan Kolonel van Beek. Pasukan ini merupakan bagian dari Brigade T (Brigade ‘Tijger’) pimpinan Kolonel van Landen.

Sebagai pasukan khusus andalan KL (Koninlijkle Leger-Tentara Kerajaan), KST memiliki kualifikasi para dan komando. Pasukan payung memakai baret merah, sedangkan baret pasukan komando berwarna hijau.

Persiapan Spoor untuk merebut Maguwo dengan sekali pukul, sangat mengesankan. Kesuksesan serbuan tersebut bertumpu sebenuhnya pada pukulan pertama, yaitu serangan udara mendadak. Oleh karena itu, gelar kekuatan pasukan udaranya merupakan yang terbesar yang pernah dilakukan oleh tentara Belanda.

Menurut catatan, di Pangkalan Udara Kalijati Bogor, dipersiapkan sebuah pesawat Lockhead L-12 dan enam buah pesawat tempur Harvard. Kemudian di Cililitan, Batavia, empat pesawat Mitchell B-25 bersama dua pesawat Mustang P-51. Di landasan Andir Bandung, 16 pesawat Dakota C-47, sebuah pesawat pengebom Mitchell B-25 bersama empat pesawat pengintai Piper Cub.

Di landasan Udara Kalibanteng Semarang telah disiapkan pula 20 pesawat angkut Dakota C-47, sebuah Lockheed L-12, dikawal sepuluh pesawat pemburu Spitfire, lima buah pengebom Mitchell B-25 berikut empat pesawat Auster. Sedangkan di landasan Udara Surabaya disiapkan empat pesawat Auster, enam pesawat Fireflikes dan 3 pesawat angkut Catalina. Total jumlah pesawat yang terlibat Operasi Burung Gagak ini adalah 87 pesawat angkut dan tempur !

Pemanfaatan pesawat tempur sebagai pelopor gerak maju serbuan pasukan darat sekaligus memicu kekacauan berikut kepanikan terhadap penduduk sipil, meniru serangan pesawat terbang Nazi semasa menyerbu Belanda awal bulan Mei 1940. Sebab, kekacauan yang terjadi ketika warga sipil sibuk mengungsi. Dipastikan bakal mengacau mobilitas berikut efektivitas pasukan yang harus mampu mempertahankan sasaran.

Setelah memberikan briefing terakhir kepada pasukannya di lapangan udara Andir Bandung pada malam tanggal 18 Desember 1948, Spoor memberikan kata penutup,

"Ik stel mijn volle vertrowen Uw houding. Moge God ij leiden en behoeden in de komende dagen ..." ("Saya menaruh kepercayaan sepenuhnya. Semoga Tuhan melindungi dan membimbingmu di hari-hari medatang ..."), sesaat setelah itu 'Operatie Kraai' dimulai.

Sesuai dengan kualifikasinya, maka dua kompi pasukan para baret merah KST bertugas merebut Maguwo. Sedangkan pasukan komando baret hijau bakal didaratkan di Maguwo sesudah landasan berhasil dilumpuhkan oleh baret merah. Dalam skenario yang disusun dengan cermat, pasukan baret hijau kemudian harus menyerbu Jogja dengan serentak dan kemudian menaklukannya sebelum senja.

Dalam pertarungan yang tidak seimbang memperebutkan Maguwo, pihak Republik kehilangan sekitar 40 orang pahlawannya yang sebagian besar merupakan para taruna Angkatan Udara.

Kota Jogjakarta sendiri terletak sekitar 7 km sebelah barat Maguwo. Ada dua jalan dari Maguwo menuju Jogja. Jalan lama adalah yang terpenting, yaitu jalan dari Solo ke Jogja. Agak di sebelah selatan lapangan terbang ada jalan Wonosari-Jogja yang langsung menuju pusat kota. Kedua rute tersebut digunakan oleh pasukan Belanda.

Walaupun perlawanan yang terorganisasi boleh dikatakan tidak ada, kedua kolone gerakannya lamban. Berulang kali mereka terantuk oleh kelompok kecil penembak senapan yang berlindung di balik tembok, pohon ataupun barikade yang dibuat tergesa-gesa, tetapi melakukan perlawanan dengan gagah berani.

Perlahan tapi pasti, mereka yang mempertahankan didesak mundur dan menjelang setengah tiga sore, kolone Selatan mencapai jantung kota Jogja, yang dalam jarak tidak terlalu jauh dari tempat bangunan serta monument terpenting kota itu berada, yaitu keraton, alun-alun serta Istana Presiden.

Menjelang senja tanggal 19 Desember 1948, istana presiden dikepung oleh kolone Utara yang juga telah sampai ke pusat kota. Sebagai jawaban, di pendopo istana muncul seseorang yang membawa bendera putih, suatu isyarat bahwa Presiden dan pembantunya bersedia menyerahkan diri. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Komodor Suryadarma dan beberapa menteri dibawa ke Maguwo untuk suatu pertemuan dengan komandan Brigade T, Kolonel van Langen.

Pustaka :

(1) Agresi Militer Belanda. Pierre Heijboer. Grasindo. 1998.
(2) Doorstoot Naar Djokja. Julius Pour. Kompas. Desember 2009.
(3) Renville. Ide Anak Agung Gde Agung. Pustaka Sinar Harapan. 1991.
(4) Catatan Kecil Indonesia